Abdul Chalik[i]
Apa hubungan antara alat musik Sato, Blasius dan Mosalaki dengan nama besar desa Waturaka yang mendunia itu? Tentu tiga nama tersebut memiliki hubungan yang sangat erat. Ketiganya sulit dipisahkan dengan peran masing-masing yang membawa nama Waturaka menjadi perbincangan nasional bahkan dunia. Banyak turis mancanegara yang singgah dan bermalam di desa yang terletak di kecamatan Kelimutu Ende Nusa Tenggara Timur. Desa ini berada tidak jauh dari puncak danau Kelimutu, salah satu kawasan wisata andalan di NTT.
Sato merupakan alat musih yang menjadi pintu masuk berkesenian warga. Blasius Letta merupakan tokoh penggerak pemberdayaan masyarakat melalui konsep Community Based Tourism (CBT), sementara Mosalaki merupakan tokoh adat yang memiliki kewenangan pengelolaan tanah adat di desa Waturaka. Sato adalah musik petik ciptaan warga Waturaka. Alat musik ini dibuat dari bahan buah maja, kayu dan satu senar. Alat petiknya seperti biola cuma terdiri dari serat ijuk. Cara memainkannya seperti piano dengan digesek. Hasil dari gesekan tersebut melahirkan suara yang keras dan merdu.
Sato dimainkan oleh empat orang diiringi oleh penyanyi dan penari. Namun ada pula dimainkan seorang diri sekaligus sebagai penyanyi. Sebagaimana yang dilakukan oleh seniman Masalimus Sattu. Ia adalah putera dari pak Daniel Dua, pemain dan sekaligus penemu alat musik Sato. Rumahnya berada di sisi belakang perkampungan Waturaka. Di kanan-kiri rumahnya ladang dan sawah milik warga.
Bermula dari alat musik Sato, kegiatan sanggar musik terus hidup sampai sekarang. Kalangan tua dan muda berkumpul untuk latihan bermusik dan bernyanyi. Dari Sanggar tersebut, kegiatan bermusik terus dipelihara sampai sekarang. Bukan hanya untuk hobi, tetapi sekaligus sebagai pengisi acara keagamaan dan menyambut tamu-tamu penting manakala dibutuhkan. Sanggar menjadi arena pertemuan lintas generasi. Tidak ada perbedaan antar lini masyarakat kecuali bermusik. Alat musik Sato merupakan salah satu pendorongnya yang mempertemukan warga untuk berkesenian.
Sementara Blasius atau warga setempat menyebut Papa Sius merupakan petani yang sukses merubah cara berfikir masyarakat dalam bercocok tanam. Melalui kekuatan tangan dinginnya, kebiasaan bertani dari tanaman padi bergeser ke pertanian holtikultura seperti tomat, cabe, bawang, kentang, terung hingga straberry. Dialah penggerak dan teladan masyarakat yang merubah areal persawahan dan perkebunan menjadi agro wisata—di mana banyak turis lokal dan manca negara berwisata melalui cocok tanam atau berkebun bersama masyarakat setempat. Melalui kegilaannya dalam mengelola lingkungan, Papa Sius terpilih sebagai petani berprestasi di tingkat kabupaten, provinsi bahkan nasional. Ia diundang ke istana negara oleh Presiden Jokowi, serta diundang di berbagai provinsi untuk menularkan ilmu dan pengalamannya.
Papa Sius adalah pria sederhana dan dengan penampilan yang sangat sederhana pula. Ia tidak tamat SD, atau hanya sampai kelas lima. Meskipun demikian, cara berfikirnya melampaui zamannya. Menurutnya, petani harus berdaulat. Hasil pertanian harus memberikan kesejahteraan dan kemandirian pada rakyat di bidang ekonomi. Salah satunya melalui pengelolaan tanah dan tanaman yang tepat, tanam campur sari dengan tidak hanya padi, penggunaan pupuk organik agar menyehatkan serta dijadikan sebagai tempat pendidikan bagi warga dan generasi penerus. Itu prinsip seorang Papa Sius.
Selain Sato dan Papa Sius, ada peran tokoh adat sebagai pemilik tanah. Warga setempat menyebut Mosalaki. Mosalaki semacam raja yang mengatur tentang adat istiadat yang sudah terjadi secara turun temurun. Misalnya soal pemakaman dan pembangunan rumah. Mereka berasal dari keturunan yang sama. Mosalaki memiliki wakil dan staf yang disebut Reabewa. Merekalah yang mengurusi administrasi yang berhubungan dengan pelayanan kepada masyarakat.
Selain sebagai tokoh yang mengatur kegiatan adat, Mosalaki pemilik dan pihak yang membagi tanah kepada semua warga. Warga hanya diberi kewenangan untuk mengelolanya, bukan memilikinya, sehingga tidak dapat diperjualbelikan. Namun tanah tersebut dapat diwariskan ke anak-cucu. Di Waturaka tanah warga tidak luas. Tanah sawah rata-rata dengan ukuran 5 x 8 M. Masing-masing kepala keluarga mendapatkan hingga 5-7 petak. Selain tanah sawah dan perkebunan, warga juga mendapatkan tanah pekarangan untuk tempat tinggal.
Sato, Blasius dan Mosalaki merupakan tiga elemen penting yang mendorong terjadinya perubahan di masyarakat Waturaka. Kesungguhan dan bahkan kegilaan Blasius dalam menjaga desa dapat meyakinkan warga untuk terus melakukan perubahan. Dialah yang mengajak dan memaksa temannya Gregorius Manau untuk tinggal (live in) selama tiga tahun agar bersama mendampingi masyarakat. Blasius tidak sendiri karena ada Mosalaki yang dengan kegigihan dan kerelaannya dalam merestui penggunaan tanah adat untuk wisata, serta kegigihannya agar tidak dimasuki oleh investor dari luar desa. Sementara sanggar seni melalui alat musik Sato telah mempersatukan warga ketika terpecah oleh kepentingan politik sesaat seperti Pilkades hingga Pemilu.
Waturaka tidak akan sampai seperti sekarang ini tanpa adanya tiga elemen tersebut. Ketiganya sama-sama penting dan menjadi pondasi terjadinya perubahan yang evolutif (Tulisan berikutnya, Sisi Lain Waturaka-2 : Pemimpin Formal, Tokoh Gereja dan Pokdarwis)
[i] Tim Peneliti kerjasama FISIP UIN Sunan Ampel Surabaya dengan Kemendes RI